Melihat Kondisi Pengadilan Kita

18

Oleh Yahlevy Lisando

Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,  Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FH UII

Indonesia sebagai Negara hukum sudah seharusnya ditopang oleh sebuah Lembaga peradilan (Pengadilan). Pengadilan diartikan sebagai akar dari sebuah negara hukum, yang berfungsi menopang  bagi tegaknya dan suburnya  sebuah negara hukum, tanpa adanya akar ini (Pengadilan), negara akan hancur dan luluh lantah, kejahatan akan terus tumbuh tanpa ada yang mengadili.

Namun, apakah ketika Indonesia sebagai negara hukum sudah memiliki sebuah Pengadilan, maka masalah akan terselesaikan? Tidak, hal tersebut juga harus didampingi dengan kinerja Lembaga peradilan dan sistem hukum yang baik, karena ketika kita menginginkan sebuah keadilan melalui Pengadilan namun kondisi Pengadilan kita (hanya) sekedar ada, bahkan carut marut, lalu apa yang hendak kita harapkan dari Pengadilan tersebut yang katanya tempat mencari keadilan? Tapi fakta nya itulah kondisi seluruh Lembaga peradilan kita saat ini.

 

Sebagai contoh carut marut nya kondisi Pengadilan kita ialah, ketika PN Jakarta Selatan menangani perkara korupsi mantan Dirut Jamsostek Ahmad Djunaedi yang berteriak telah memberikan uang Rp. 600 juta kepada jaksa yang sebagiannya, yakni Rp.250 juta digunakan untuk melobi hakim, atau bahkan ada seorang penonton sidang yang mengibas – ngibaskan uang dalam perkara retribusi pajak di Pengadilan Negeri Surabaya. Dari situasi tersebut dapat kita lihat bahwa buruknya pandangan masyarakat terhadap aparat penegak hukum karena kinerja nya melalui Pengadilan yang kurang baik, oleh karena itu orang begitu sinis dan skeptis terhadap Lembaga peradilan.

 

 

Penyebab

Peran Lembaga peradilan tidak terlepas dari Sistem hukum di Indonesia yang mengharuskan bahwa hukum harus menjamin kepastian hukum yang berdampingan dengan rasa keadilan, artinya produk maupun ketentuan hukum harus memiliki landasan hukum, dan harus memenuhi rasa keadilan, namun pada nyatanya hingga saat ini hal inilah yang membuat para ahli hukum kebingungan, yang manakah yang lebih didahulukan? Banyak sekali ketetapan di negeri ini yang mengandung kepastian hukum namun menyeleweng dari rasa keadilan. Alih-alih hukum ada untuk melindungi keadilan, justru produk hukum dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan pribadi tertentu, contoh UU Migas (No. 22/2001) yang memberikan peluang kepada asing melakukan kegiatan usaha yang mengakibatkan kebijakan yang merugikan rakyat. Hal tersebut secara tidak langsung berdampak pada buruknya Lembaga peradilan di Indonesia.

 

 

Dari situasi carut marutnya Lembaga peradilan ini, harus diakui bahwa Pengadilan sebagai tumpuan maupun harapan terakhir masyarakat untuk mencari keadilan telah dihinggapi oleh penyakit hukum yang bersifat teknologis, sehingga Pengadilan dalam memecahkan perkara lebih berkonsentrasi pada hal yang bersifat teknis dan menjauh dari nilai-nilai moral. Mereka cenderung melahirkan keadilan yang bersifat yuridis, padahal dasar dibentuknya hukum dan pengadilan ialah keadilan yang hidup dimasyarakat yang bersifat substansial.

 

 

Kelemahan Pengadilan kita juga dapat dilihat dari banyaknya perkara yang penyelesaiannya tersendat, buruknya pelayanan di pengadilan, hingga adanya keberpihakan hakim terhadap subyek tertentu. Dalam posisi inilah keadilan menjadi sangat mahal, dan hanya orang-orang yang memiliki kemampuan saja yang dapat membelinya. Banyaknya tekanan dan kritik yang dilontarkan masyarakat pada dasarnya dapat dimaklumi karena masyarakat hanya menginginkan agar lembaga peradilan menjadi lebih baik, bukan semata-mata masyarakat pesimis, Karena pada realitanya kita sedang menonoton peradilan dagelan di negeri kita.

 

 

Dalam memperbaiki carut-marut nya Lembaga peradilan (Pengadilan) ini, ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan, yaitu “Revitalisasi Lembaga Peradilan”. Pertama sistem yang memang harus dirubah, baik itu dari sistem hukumnya yang memang sudah usang, ataupun sistem Lembaga pengadilan itu sendiri. Kedua memngganti sumber daya manusia nya dengan sumber daya manusia yang jauh lebih baik, karena Pengadilan bukanlah Lembaga yang “cerdas” maka pengadilan membutuhkan sumber daya manusia atau orang-orang yang cerdas, yang bisa membawa pengadilan kearah yang lebih baik. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here