Titip Pesan Damai, Alumni TBS Kudus Ngober Soto Kerbau

14

Kudus, Harianjateng.com- Dalam semangkok soto kerbau Kudus, ada pesan dan semangat toleransi yang dititipkan Sunan Kudus kepada seluruh umat manusia.  Suatu kali, kala Sunan Kudus dahaga, ada seorang pendeta Hindu yang menolongnya dengan air susu sapi, hewan yang sangat disucikan pemeluk Hindu karena member kesejahteraan rakyat dan menghidupinya.

Sebagai ungkapan terima kasih, Sunan Kudus meminta umat Islam agar tidak menyembelih sapi. Bukan karena haram dimakan, namun untuk menghormati. Sebagai gantinya, hingga kini masyarakat Kudus lebih memilih sajian soto dengan daging kerbau daripada sapi.

Itulah yang terekam dalam diskusi pra-Halaqah Kubro alumni Madrasah TBS bertema Indonesia Membincang Santri Menara di Estu Kafe, perempatan Panjang Kudus, Jumat malam (23/06).

Hadir dalam kesempatan itu peneliti Filsafat dan Budaya STAIN Kudus, Nur Said dan Ahmad Tajuddin Arafat, pakar Ilmu Hadits UIN Walisongo Semarang. Keduanya adalah alumni TBS Kudus yang berkarir di dunia akademis.
Acara yang dihadiri puluhan santri TBS tersebut sengaja digelar oleh Pengurus Pusat  Ikatan Siswa Abiturien Madrasah TBS Kudus (Iksab) sebagai langkah awal titip pesan damai melalui sejarah toleransi Sunan Kudus.
“Umat Islam Indonesia itu mayoritas, tapi angka radikalisme malah cenderung mayoritas juga. Apa mereka tidak melek sejarah Sunan Kudus?” tutur Said, yang juga ketua PP Iksab itu.

Menurut Said, sikap radikal itu akibat kita tidak paham sejarah. Tidak ada pertimbangan politik dan sosial ketika memilih sudut pandang agama. Di beberapa kota, lanjutnya, takbir Idul Fitri saja kini sudah mengarah kepada unjuk kekuatan mayoritas, “Unsur dakwahnya tergerus karena sikap adigung mayoritas masih jadi pandangan bersosial,” ungkap Said.

“Sikap mudah gumunan (terkagum-kagum), tanpa pertimbangan pilihan syariat (mizanus syar’i) sangat bertentangan dengan orientasi pembangunan karakter Sunan Kudus yang selalu menekankan bagus akhlak dan rajin ngaji,” terangnya.
Sikap takfiri, mudah menuduh orang lain sesat karena mudah terkejut, jika tidak didasari ngaji dan menyempatkan ngaji, dominasi otak akan penuh dengan kebencian dengan sesama. “Aneh, ada orang Indonesia yang tidak mau bertetangga dengan non-Muslim hanya karena beda agama, bukan karena yang lain,” imbuh Said.

Tajudin Arafat menambahkan Said soal phobia hadits dhoif di kalangan komunitas Islam radikal. Kebencian terhadap hadits dhoif ternyata berakibat pada kemudahan menyimpulkan amalan ubudiyah orang lain bid’ah dan sesat.
Padahal, menurut Tajuddin, mata rantai para perawi hadits yang disebut lemah itu tercatat di kutubus tis’ah (sembilan kitab popular kumpulan hadits). “Mereka begitu karena membenci para sufi yang meriwatkan hadits, tidak meneliti the living sunnah di baliknya. Bahkan ada yang lucu, kini bertebaran istilah ustadz sunnah, yang lain apa ustadz bid’ah,” tuturnya disambut tawa hadirin.

Acara ngopi bersama (ngober) lengkap dengan suguhan makan bareng soto kerbau yang rencananya akan digelar pada Rabu malam, 6 Juli 2017 dalam rangkaian Halaqah Kubro, adalah bagian dari unjuk aksi para santri alumni Madrasah TBS titip pesan damai kepada Indonesia.

Kata Ketua panitia Halaqah Kubro, Baihaqi, alumni TBS 2015, acara itu akan dihadiri 2500-an peserta dari seluruh alumni di Nusantara.
“Ngober itu dari kata kober, yang dalam bahasa Jawa artinya menyempatkan diri. Tujuannya agar tidak mudah gumunan, sesuai dawuh masyayikh TBS, KH Tiraichan Adjhuri “ojo gumuman, kabeh kudu ditimbang nganggi mizanus syar’i,” jelasnya.

Red-HJ99

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here