Semarang, Harianjateng.com- LRC-KJHAM Semarang bersama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) mengadakan diskusi publik, Kamis (7/12/2017) di ruang Parahita Ekapraya Lantai 3 DP3AKB Semarang, Jawa Tengah.
Berdasarkan data LRC-KJHAM sejak tahun 2013-2016 tercatat adanya 2.116 kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah dengan Jumlah korban sebanyak 4.151, sedangkan tahun 2017 dengan 352 kasus dan 704 perempuan menjadi korban kekerasan terhadap perempuan.
Di tahun 2017, Kasus kekerasan terhadap perempuan tersebar di 35 Kabupaten/ Kota di Jaw Tengah. Kasus kekerasan terhadap perempuan tertinggi ada di Kota Semarang yaitu 118 kasus atau 48,11%, kemudian Kabupaten Magelang 47 kasus atau 17,8%, Kabupaten Kendal 22 kasus atau 10,30%,Kabupaten Wonogiri 20 kasus atau 9,12%, Kabupaten Salatiga, Kabupaten Pati, dan Kabupaten semarang 12 kasus atau 7,10%, Kabupaten Blora dan Kabupaten Pekalongan 10 kasus atau 2,26% , kemudian Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar sebanyak 8 kasus atau 2,18%, Kabupeten Karanganyar 7 kasus atau 2,10%.
Berdasarkan jenis kasusnya, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) menjadi jenis kasus tertinggi di tahun ini yaitu mencapai 117 kasus atau 33,3%, kemudian Kekerasan dalam Pacaran (KdP) sebanyak 91 kasus atau 25.8%, Perkosaan mencapai 46 kasus atau 13,9%, Perbudakan Seksual 38 kasus atau 10,8%, Prostitusi 24 kasus atau 6,8%, Trafiking 16 Kasus atau 4,5%, Pelecehan Seksual 14 kasus atau 3,10% dan Buruh Migran sebanyak 6 kasus atau 1,8%.
Disampaikan oleh Dian Puspitasari, S.H. Direktur KJHAM dalam acara tesebut, “jumlah kasus kekerasan seksual masih mendominasi diantara bentuk-bentuk kasus lainnya. Selama 5 tahun (sejak tahun 2013 — 2017), sebanyak 2.222 perempuan mengalami kekerasan seksual. atau setidaknya 1-2 perempuan di Jawa tengah mengalami kekerasan seksual. dari kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi, pelaku rata-rata dari kalangan orang-orang yang dikenal bahkan dekat dengan korban, seperti suami, pacar, ayah, kakek, paman, guru, tetangga, teman, dan sebagainya,” ujarnya.
Menurutnya, tingginya kasus kekerasan seksual tidak diiringi dengan membaiknya status pemenuhan hak-hak korban. Seperti hak atas pemulihan medis tidak tersedia secara khusus dan mudah diakses untuk perempuan korban kekerasan, ketiadaan sarana prasarana dan prosedur khusus bagi korban, menjadikan korban harus membayar biaya pemeriksaan medis sendiri. Adanya stigma yang kuat dari masyarakat bahkan penyedia layanan.
“Selain itu korban kekerasan seksual juga mengalami hambatan dalam proses penegakan hukum. Diantaranya kesaksian korban kekerasan seksual tidak diakui ketika melaporkan kasusnya, stigma dan ketiadaan peraturan atau payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual. seperti kasus perbudakan seksual atau kekerasan dalam pacaran dengan korban perempuan dewasa,” Tambah Dian Puspitasari.
Dirinya juga mengatakan. “Maka dari itu, kampenye 16 HAKTP terus dilakukan guna mendorong pemajuan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan, termasuk korban kekerasan seksual, maka penting dalam momentum kampanye 16 HAKTP ini bersama-sama untuk mendukung segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mampu melindungi hak-hak perempuan korban kekerasan seksual dan mendorong adanya perbaikan kebijakan di Provinsi Jawa Tengah dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual,” harapnya.
Red-HJ99/Ovan