Harianjateng.com- Siapa sangka dosen muda lulusan Universitas Indonesia mengajar di kampus kami yang tidak begitu terkenal ini, bahkan ia mempunyai fans yang tidak sedikit. Termasuk aku. Kenalin, namaku anisa aku mahasiswa semester lima fakultas keperawatan. Berawal dari tatap mata yang pertama kalinya pada saat perkuliahan berlangsung. Saat itu juga aku langsung terpesona melihat Pak Ilham.
Pak Ilhamlah dosen yang saat ini sedang naik daun karena ketampanannya dan dirinya yang terlihat sangat berwibawa. Melihatnya menjadi ingin mengenalnya lebih dalam, rasa ingin tahu tentangnya pun muncul, kira-kira berapa umurnya, dimana rumahnya, dan apa statusnya saat ini? Semuanya terjawab setelah aku menyelinap masuk ke ruang dosen dan memandang papan informasi dosen yang tertempel besar di dinding ruangan. Mungkin tindakanku sedikit kelewatan. Dengan tekad yang kuat, perasaan kagumku mulai berubah menjadi perasaan lain. Dengan perasaan ini aku jadi heran apakah temanku juga merasakan hal yang sama denganku, apakah mereka juga demikian?
Usai perkuliahan aku mencoba menanyakannya pada temanku, agar aku tahu dan bagaimana yang sebenarnya.
“Lin, bukankah Pak Ilham itu dosen idaman disini ?,” tanyaku.
“Ya Sa, idaman banget deh, dari kakak tingkat sampai adik tingkat mereka semua sering mengatakan kagum padanya. Lalu kenapa kamu juga bertanya begini Sa apa kamu juga mengagumi?,’’ jawab Linda sambil menyenggol bahuku.
“Ya bisa dikatakan begitu, pokonya ya Lin sejak pertama bertemu kemarin itu aku langsung klepek-klepek, andai saja aku dapat ……” aku belum selesai melanjutkan.
“Dapat apa? dapat memiliki hatinya ? Jangan harap ya kamu, Pak Ilham mana mungkin mau denganmu, melirikmu saja sepertinya tidak mungkin,’’ ejek Linda membuatku merasa terpatahkan perasaanku.
Sepertinya memang aku takkan diliriknya sama sekali, aku itu apa? hanya mahasiswa yang masih belum mencapai gelar sarjana, beda dengannya yang sudah punya gelar sepanjang itu. “Dasar bapak spesialis,” gumamku.
Usai kelas berakhir aku mencoba membuka-buka sebuah silabus, siapa tahu ada nomor teleponnya Pak Ilham. Akankah rasa penasaranku sampai disini saja, ataukah aku harus memberanikan untuk sekedar menyapa di telepon? Baiklah, aku akan mengirim pesan. Dan apa yang terjadi? Pesanku direspon, betapa bahagianya aku. Awalnya aku mengira dosen seganteng dia bakalan cuek, ternyata aku salah. Baru beberapa hari saja aku sudah langsung mengenalnya lebih dalam.
“ Linda, kamu tahu nggak, ternyata pak Ilham itu 90 derajat beda banget,’’ kataku
“ Beda bagaimana? Bagaiman kamu tahu ?,’’ tanya linda
“Iya Lin, meskipun gayanya yang sok cool itu ternyata dia itu lebih perhatian dari yang kita kira, beberapa hari ini kita sering chat, orangnya asyik banget Lin,’’ jelasku sambil tersenyum-senyum.
Aku terkagetkan ketika usai tersenyum Pak Ilham ternyata dibelakang kami yang dari tadi berjalan menceritakan tentangnya, tanpa sadar aku langsung lari dan menahan tawa, rasa malu, dan semuanya aku rasakan. Sampai di rumah haruskah aku bertanya untuk memastikan apakah tadi mendengar percakapan kami atau tidak, semoga tidak mendengarnya.
Membuka messanger, tak ada pesan satupun darinya, malah yang ada pesan dari Linda, padahal hari-hari kemarin kita 24 jam online bareng. Apa Pak Ilham marah karena aku ceritakan kepada Linda ya? Pikirku.
“ Giman Sa , sudah dichat dosen idamamu?”, tanya Linda.
“Belum Lin. Apa aku duluan ya yang chat, Lin, rasanya pengen jadi Rexona yang ada setiap saat,” balasku bergurau.
“ Ingat Sa, dia itu dosenmu jadi jaga sikap,” ketus Linda.
Memang benar yang dikatakan Linda, aku ngga boleh menganggapnya sebagai teman. Esok pagi sinar matahari sudah menembus ke celah-celah dinding kamarku, kusambut embun pagi sisa hujan semalam dengan sebuah senyuman, bergegas aku mengambil perlengkapan dan ranselku, segera aku melaju ke kota menuju tempat kostku.
Melihat keadaan di sana, perasaanku semakin resah karena kost yang kami tempati masih terkunci. Saking paniknya ngga tahu aku harus menghubungi siapa dan ngga mungkin lagi kalau aku kembali ke rumah karena jaraknya pun sangat jauh. Teringat rumah Pak Ilham yang juga daerah kota, entah ini sebuah kebetulan atau sudah rencana Tuhan yang pasti ini adalah unsur keberuntungan untukku. Saat aku mengatakan tentang kepanikanku, Pak Ilham menawari untuk menunggu di rumahnya.
“Oh begitu, ya sudah ke sini saja nanti saya jemput di dekat Rumah sakit Mutiara kalau kamu mau,” balas pak Ilham di messenger.
Siapa coba yang tidak mau? Ini adalah kesempatan emas bagiku dan jangan sampai aku sia-siakan. Setelah tiba di sana, Pak Ilham datang menghampiriku dengan senyuman, wajahnya yang tak membosankan tak mempengaruhi penampilannya meskipun ia hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Aku memngikuti di belakangnya hingga sampai di halaman rumahnya. Sebenarnya aku sedikit was-was dan grogi berlebih, menatapnya pun aku sangat malu, malah sekarang kami duduk berhadapan.
Sepertinya aku memang jatuh cinta. Untuk memecah keheningan, satu kata terucap dari kami sampai pada akhirnya kami mengobrol panjang. Karena hari sudah semakin sore dan sinar sore akan segera hilang. Aku kembali ke kost dengan membawa bunga mawar merah yang ia petikkan untukku dan batuan putih kecil yang kuminta sebagai tanda kenangan.
Memikirkannya semakin membuatku tambah berharap. Sekarang aku merasakan semakin aku mendekatinya, sepertinya ia semakin menjauh dariku, bahkan berpapasan di jalan saja ia memalingkan wajahnya. Aku yakin ini semua karena perbuatanku yang keterlaluan yang sering menghantuinya. Lalu harus bagaimana aku mengembalikannya seperti dulu? Tanpa sadar kemarin waktu praktikum di laboratorium aku terjatuh pingsan dan Pak Ilham lah yang menolongku hingga aku tersadar.
“Sudahlah Sa jangan terlalu diharapkan, itu malah akan membuat kamu merasa tersiksa, sebaiknya memang kamu harus menghindarinya dulu Sa,” ucap Linda.
Hari terus berlalu hingga berganti tahun, kami sudah tidak berkomunikasi lagi, dan tidak ada yang terjadi setelah sekian lamanya. Sekarang perasaan ini muncul lagi, muncul seperti saat pertama kali jatuh cinta, doaku terkabul. Aku diizinkan memikirkannya lagi. Begitu banyak kenangan yang pernah aku rasakan bersamanya. Dulu, aku adalah mahasiswa yang sering diajari bagaimana cara membuat WOC. Ia selalu menyuruhku membuat dan mendiskusikan di ruangannya, itu alasan juga bagiku untuk tetap dekat. Lalu waktu aku bersamanya mencoba alat kesehatan yang memang aku belum bisa menggunakannya, kami tertawa bareng dengan konyolnya, Padahal kami bukan teman, kami adalah mahasiswa dan dosen.
Teringat juga saat hujan kemarin, aku yang mengendarai sepeda motor di belakangnya rela tersirat tetesan air hujan dari sepeda motornya hingga membuat pakaianku kotor dan basah. Dulu kami juga sering bertemu di jalan karena memang rumah kami searah, kami saling mengejek dengan klakson hingga saling berkebut. Untuk yang terakhir kalinya, aku memberinya kado ulang tahun. Kado itu aku siapkan spesial untuknya, dasi yang kuberikan dipakai saat acara pentas seni. Lalu dengan seribu kenangan itu sekarang hanya tinggal bekas di hati.
Perasaan ini hancur, bagaikan kepingan kaca yang menusuk dalam di hatiku. Mendung gelap, hingga gerimis yang datang menyapa di jendela kantor pak Ilham membuatku ingin meneteskan air mata. Aku yang dari kejauhan terus menatap sampai ia keluar dengan payung hitamnya dan membuka mobil abu-abu dengan plat D, tanpa sadar ternyata ia bersama seorang perempuan paruh baya yang juga aku kenal, ia adalah seorang dosen yang juga mengajar di kampusku.
“Sa, Pak Ilham akan menikah bulan depan, kamu yang sabar ya, karena memang harus sampai di sini kisah hayalanmu itu dan sekarang berhentilah menghayal.” ujar Linda.
Cinta memang membutakan segalanya tanpa sadar usia dan perbedaan, cinta mampu menumbuhkan beribu harapan dan menghapus beribu kelemahan. Oleh karena itu, aku ingin jatuh cinta, tanpa harus saling memiliki, karena melihatnya bahagia aku akan bahagia sepertinya.
Red-HJ99