Harianjateng.com- Masih hangat di telinga kita isu tentang MK yang seolah melegalkan zina dan lesbian, gay, biseksual dan transgender/transeksual (LGBT) setelah keluarnya putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 tentang Permohonan Uji Materi terhadap Pasal 284 tentang perzinahan, 285 tentang perkosaan, dan 292 tentang pencabulan anak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Isu ini berkembang pesat lewat sosial media (sosmed). Sebagian masyarakat awalnya mengartikan putusan tersebut merupakan tonggak dasar yang menghalalkan perilaku seks bebas, kumpul kebo, dan LGBT di mata hukum Indonesia. Opini publik mudah sekali tergiring oleh isu bahwa putusan MK tersebut menandai kemenangan kaum LGBT.
Apabila kita mencermati dan membaca secara detail putusan MK tersebut dari awal hingga akhir, maka kita tidak akan menemukan satu pernyataanpun dari MK yang melegalkan dan mendukung zina dan LGBT. Sebaliknya, kita akan melihat bahwa MK sebenarnya tidak menolak gagasan pembaharuan hukum tersebut bahkan MK memberikan catatan dan mendukung bahwa permohonan pemohon seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru yang masih kita tunggu-tunggu kapan selesainya.
Penolakan MK terhadap permohonan pemohon adalah hal yang wajar, karena sejatinya sesuai dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) beserta peraturan turunanya mengatur kewenangan MK hanya terbatas pada pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 (negatif legislator) yaitu tidak berwenang untuk merumuskan peraturan yang baru terlepas dari perdebatan inkonsitensi MK terhadap putusan yang mengatur (positif legislator).
Selain itu, permohonan pemohon adalah pengujian undang-undang yang menyangkut norma hukum pidana, yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi perbuatan tertentu. Padahal MK dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah kebijakan pidana sebab hal tersebut merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang yang sekali lagi seharusnya dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif yaitu DPR dan Presiden.
Berdasarkan dari fakta tersebut, maka miris melihat fenomena masyarakat Indonesia yang mudah tergiring isu. “Supremasi hukum” yang telah diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum seakan telah bergeser menjadi “supremasi neitizen”.
Hukum harus dijadikan dasar, bukan isu-isu yang disebarkan oleh neitizen yang tidak bertanggung jawab menjadi modal informasi. Sebagai warga negara yang baik dan neitizin yang cerdas seharunya masyarakat Indonesia selalu melek media dan menerapkan budaya literasi terhadap isu-isu yang malang melintang khusunya di sosmed.
Solusi yang tepat untuk problematika terkait pengaturan zina dan LGBT adalah pertama, mendorong DPR dan Presiden untuk menjadikan permohonan pemohon sebagai masukan penting. Kedua, agar DPR dan Presiden segera menyelesaikan rancangan KUHP guna menggantikan KUHP lama yang telah usang.
Red-HJ99