Harianjateng.com- Perayaan pesta demokrasi sudah memasuki babak baru dan tinggal menunggu timing-nya saja. Kontestasi politik yang paling mendekati adalah pilkada serentak yang akan digelar pada 27 Juni mendatang dan disusul dengan Pilpres 2019. Selang waktu yang singkat membuat gelaran pesta demokrasi kian menarik. Maka dari itu, pada tahun 2018 sampai 2019 disebut “Tahun Politik”.
Pesta demokrasi merupakan sarana bagi terselenggaranya kedaulatan rakyat. Sistem demokrasi ketatanegaraan saat ini, rakyat mempunyai hak menyalurkan suaranya dibalik bilik suara menurut hati nuraninya masing-masing guna menentukan sosok pemimpin yang cocok untuk memimpin jalannya pemerintahan baik ditingkat daerah maupun ditingkat nasional.
Dibalik perhelatan pilkada dan pilpres mendatang, kini publik kembali dibanjiri dengan konten berita yang propaganda. Banyak berita bohong (hoax) yang beredar dengan mengatasnamakan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Sebelumnya, pada tahun 2017 Satgas Patroli Siber Bareskrim Polri berhasil meringkus sindikat saracen yang disinyalir merupakan induk dari produsen hoax terbesar dunia maya tanah air, kemudian belum lama ini sindikat produsen hoax kembali digagalkan dengan akun Muslim Cyber Army, tak tanggung-tanggung konten yang dimuat sangat berbahaya, salah satunya isu kebangkitan PKI, Penculikan ulama dan lain-lain yang belum lama ini beredar di media sosial, yang bertujuan menggiring publik cenderung berpihak pada kelompok tertentu. Tentu saja menimbulkan keresahan dan konflik perpecahan ditengah masyarakat.
Tidak menutup kemungkinan, hal tersebut ada korelasinya dengan kepentingan politik. Sebagai ilustrasi, kelompok atau oknum yang mempunyai kepentingan sengaja memproduksi hoax yang menyesatkan untuk menjatuhkan lawan dalam kontestasi politik, tujuannya tak lain adalah mempengaruhi calon pemilih untuk mendapatkan suara. Implikasinya, demokrasi semakin terancam.
Politik Identitas dan Malapetaka Medsos
Bukan merupakan hal baru politik identitas menjadi bagian dari proses politik saat ini, berkaca pada pilkada DKI tahun lalu, masyarakat dicekoki dengan isu mengenai perbedaan agama dari salah satu pasangan calon, kasus penistaan agama sampai pada perbedaan ras.
Hal tersebut menjadi legitimasi kuat politik identitas menjadi senjata yang ampuh dalam kontestasi politik menggantikan politik uang, karena kebanyakan masyarakat sudah sadar dengan praktik culas semacam itu, yang membuat masyarakat enggan datang ke TPS untuk menyumbang suara. Hal ini pun membuat berbagai pihak menjadikan kampanye politik identitas dan hoax sebagai senjata andalan dalam menjatuhkan lawan dan meningkatkan elektabilitas (Media Indonesia, 10/03/2018).
Tentu sangat berbahaya bagi cita-cita demokrasi Indonesia. Implikasinya pun merupakan jangka panjang, jika kita cermati politik identitas yang dibungkus dengan berita hoax akan berpengaruh pada kondisi ketatanegaraan tanah air. Pertama, ancaman demokrasi, Indonesia sebagai negara kesatuan yang terdiri dari berbagai SARA merupakan negara yang unik karena disatukan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika.
Dari berbagai macam perbedaan itulah Indonesia mempunyai potensi menjadi negara maju. Namun, tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menjadi negara yang terpecah-pecah karena ulah rakyatnya sendiri. Jangan sampai politik identitas akan terjadi di tahun politik ini, hanya ingin memperoleh simpati rakyat, para elite politik malah menghancurkan negaranya sendiri yang susah payah dibangun oleh para founding father’s. Itulah mengapa hoax merupakan ancaman demokrasi di Indonesia.
Kedua, potensi konflik sosial meningkat dan berlanjut, pada umumnya hoax berisi konten SARA yang riskan menimbulkan konflik. Kemajuan teknologi yang terus berkembang menuntut masyarakat bergantung pada gadged dan medsos dalam menjalankan aktivitasnya, disinilah yang perlu digaris bawahi, penyebaran hoax melalui medsos sangat pesat, terstruktur dan terorganisir. Artinya, masyarakat jangan mudah percaya dengan berita-berita yang menyebar di media sosial, terlebih belum jelas verifikasi, sumber dan akurasi faktual yang terjadi. Publik harus kritis dan cermat dalam memilah berita yang beredar, apalagi jika sembarang mengunggah atau meneruskan berita yang didapat kepada pengguna medsos lainnya, crosscheck kebenaran berita dengan membandingkan sumber yang lain dapat menjadi salah satu cara untuk menangkal masifnya hoax di media sosial. Karena jika hanya sembarang ikut mengunggah atau meneruskan tanpa mengecek kembali, sama saja ikut menyebarluaskan hoax, dan berimplikasi meningkatkan resiko konflik sosial.
Disisi lain, tidak hanya pembuat hoax saja yang mendapat ancaman pidana dalam undang-undang yang berlaku, namun pengguna medsos yang ikut menyebarluaskan hoax (walaupun sekedar iseng) juga dapat diancam pidana menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Untuk itu, gunakanlah medsos dengan bijak, jangan sampai merugikan diri sendiri, orang lain bahkan tanah air.
Red-HJ99