Diplomasi Jembatan Holtekamp Bagi Papua

0
oleh : Putri Sarah SaraswatiMahasiswi Hubungan Internasional Universitas Wahid Hasyim Semarang

Semarang, Harianjateng.com- Setelah 72 tahun Indonesia Merdeka, persoalan Papua masih menjadi agenda khusus pemerintah Indonesia, mulai dari aspek pemerataan pembangunan, ekonomi dan sumber daya hingga isu separatisme yang seringkali mendapat sorotan dunia internasional.

Konflik separatisme Papua ini memang memiliki latar belakang konflik yang cukup rumit. Dimulai sejak tahun 1945, yakni pada awal kemerdekaan, perebutan atas wilayah Papua mulai muncul ke permukaan dengan melibatkan pemerintah Indonesia yang baru saja merdeka, dengan pihak Kerajaan Belanda (Chauvel & Bhakti, 2004). Separatisme adalah sebuah tindakan yang didasari oleh keinginan untuk merdeka dan self – determination yang dilakukan oleh sebuah bangsa atau masyarakat (Fearon, 2004). Menurut James D. Fearon, separatisme adalah sebuah tindakan ‘membangkang’ dari sebuah bangsa yang menginginkan kebebasan akibat dilanggarnya prinsip – prinsip self – determination. Separatisme dapat dijelaskan sebagai sebuah konsekuensi dari suatu sistem negara yang memunculkan sentiment akibat adanya diskriminasi politik dan ekonomi.

Sebuah bangsa yang melakukan separatisme biasanya mendapat dorongan atau dukungan dari pihak luar dengan adanya pengakuan atas eksistensi bangsa tersebut. Di antara upaya internasionalisasi Papua di kancah internasional termasuk ‘penyerahan’ petisi tentang referendum yang diklaim dudukung oleh sekitar 1,8 juta warga Papua- kepada Komite Dekolonisasi PBB, menurut Juru bicara Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat, Benny Wenda. Namun Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk PBB di New York membantah petisi secara sah diserahkan kepada komite itu pada akhir September 2017 lalu.

Persoalan ini jelas tidak boleh diabaikan pemerintah begitu saja. Menurut Data Badan Pusat Statitistik mencatat bahwa angka kemiskinan Papua merupakan yang terbesar, yaitu mencapai 910 ribu jiwa atau sebesar 27,76 persen dari total populasi pada September 2017 (katadata.com). Belum lagi adanya dugaan pelanggaran HAM di Papua. Permasalahan yang begitu kompleks pun semakin memicu kelompok separatis untuk mencari dukungan hingga di dunia internasional.

Menurut Simon Dalby, dimensi keamanan dalam studi Hubungan Internasional telah mengalami pergeseran dari perspektif tradisional yang terbatas pada perang dan damai menuju perspektif nontradisional yang lebih mengedepankan human security dan mengandung lebih banyak aspek. Keamanan tidak lagi terfokus pada interstate relations, tetapi juga pada keamanan untuk masyarakat (Dalby, 2003:102-103). Menurut Barry Buzan dalam bukunya yang berjudul : People State and Fear: An Agenda for International Security Studies in Post Cold War Era, bahwa keamanan yang dimaksud di dalam pendekatan ini tidak sebatas pada keamanan saja, tetapi mencakup keamanan militer, politik, ekonomi, sosial dan lingkungan. Keamanan merupakan suatu fenomena yang berhubungan, oleh karenanya seseorang tidak bisa memahami keamanan nasional suatu negara tanpa memahami pola internasional yang melekat dalam kesalingtergantungan keamanan yang ada (Buzan, 1991:187).

Sehingga dalam menanggapi fenomena tersebut, pemerintah pun tidak turut diam. Melalui program pembangunan besar-besaran di Papua, pemerintah berharap mampu memenuhi tuntutan yang dilayangkan warga Papua dalam hal ekonomi serta melaksanakan amanah Undang – Undang Dasar Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum yang pada akhirnya menjaga kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila.

Salah satu gebrakan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan Papua adalah dengan membangun jembatan Holtekamp. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan, Jembatan Holtekamp sebagai jembatan dengan tipe pelengkung baja terpanjang di Papua ditargetkan dapat rampung lebih cepat, yakni Juli 2018, atau maju 2 bulan dari rencana awal pada September 2018. Jembatan sepanjang 732 meter ini berada di atas Teluk Youtefa dan menghubungkan Kota Jayapura dengan Distrik Muara Tami. Nantinya, keberadaan jembatan akan memangkas waktu tempuh dari Jayapura menuju perbatasan Skouw, dari semula 2,5 jam menjadi 60 menit. Dengan adanya jembatan ini selain memperlancar konektivitas, pembangunan jembatan juga akan mendorong pengembangan wilayah Kota Jayapura ke Timur, yakni ke arah Skouw.

Hal ini juga ditunjang dengan pengembangan kawasan perbatasan Skouw sebagai embrio pusat ekonomi baru di mana ada pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang sudah selesai dan dilanjutkan dengan pembangunan pasar. Keberadaan jembatan akan mengendalikan laju perkembangan Kota Jayapura di bagian Barat  yang berupa pegunungan dan sangat beresiko merusak hutan sebagai wilayah tangkapan air bagi keberlanjutan Kota Jayapura.

Dalam menghadapi ancaman berupa non – violent struggle seperti separatism ini, pemerintah tidak hanya dengan mengandalkan kekuatan militer yang dimiliki, tetapi juga menggunakan strategi soft power serta diplomasi pembangunan nasional untuk mempertahankan keamanan nasional Indonesia.

Red-HJ99

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here