Dibalik Duka Atas Bencana Antara Adzab, Kondisi Alam dan Politik

12
Penulis: RNgt. Ratnasari P; PA SKP bid. Keagamaan Internasional, Direktur BUMD PD. BPR BLORA (2007-2016)

Harianjateng.com- “Tetap sabar, istiqomah, percaya dibalik bencana ada perintah untuk lebih bertaqwa.”Mungkin kalimat ini menjadi sangat tepat jika dikaitkan dengan bencana yang marak terjadi beberapa waktu ini. Kalimat ini terdengar dan terasa lebih bijak, dari pada sekedar kita saling menghujat, menuduh dan mengkait-kaitkan bencana dengan adzab atapun hal mistis lainnya.

Bila kita mau berfikir lebih cerdas lagi disertai dengan berbagai dasar keilmuan, bencana alam yang terjadi pada beberapa waktu ini dikarenakan kondisi geografis dan alam Indonesia. Jadi kurang tepat apabila kita mengkaitkan kejadian ini dengan pilihan politik apalagi jika kita kaitkan dengan pemilihan legeslatif, pemilihan bupati, pemilihan walikota, pemilihan gubernur, bahkan pemilihan presiden yang akan berlangsung di 2019 mendatang.

Untuk lebih jelasnya, kita patut untuk tahu bahwa sesuai dengan kondisi geografisnya di Indonesia banyak terdapat gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang non aktif. Selain itu juga bukan secara kebetulan pula Indonesia berada tepat di antara 3 lempengan bumi. Indonesia adalah negeri dalam Ring of Fire, negeri dalam cincin api. Negeri di mana ada 3 pertemuan lempeng tektonik (eurasian plate, indo- australian plate dan pasific plate). Hal tersebut inilah yang menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang rawan gempa, selain itu kondisi Indonesia yang mempunyai garis pantai yang sangat panjang membuat potensi tsunami sangat besar terjadi di Indonesia.

Mungkin butuh kewarasan dan kearifan yang lebih untuk dapat melumat habis pemahaman akan kondisi geografis ini beserta dampaknya. Karena bencana tidak melulu timbul karena adzab, ini sama sekali tidak ada korelasinya.

Seperti kita contohkan jika kita mau menarik kebelakang, saat krakatau meletus dan membelah sumatra dan Jawa menjadi 2 pulau, saat merapi, merbabu ataupun gunung kelud meletus. Apakah itu karena adzab? Tentu tidak, semua karena kondisi geografis Indonesia. Sebagaimana juga Jepang, Filipina dan beberapa negara lainnya menjadi negara langganan gempa, tentu saja itu tidak ada kaitannya dengan adzab ataupun pertanda lainnya, karena ini menjadi suatu siklus yang akan terjadi berulang-ulang.

Cerita terkait kejadian alam dan pertanda juga pernah terjadi pada masyarakat Arab pra-Islam, dimana mereka percaya bahwa gerhana terkait dengan kematian orang besar. Dikisahkan dalam berbagai sejarah Islam ada kejadian pada saat kematian putra Nabi Muhammad SAW yang bernama Ibrahim bin Muhammad wafat dalam usia 16 tahun, kebetulan pada hari kematian tersebut bersamaan dengan gerhana matahari, masyarakat setempat pun lantas menduga bahwa gerhana terjadi merupakan mukjizat atau tanda bahwa matahari turut bersedih.

Nabi Muhammad SAW melarang pengikutnya untuk mengaitkan gerhana dengan kematian putra Beliau. Seperti yang diriwayatkan HR Bukhari-Muslim dari Aisyah dan Ibnu Abbas, nabi Muhammad SAW mengatakan, “Matahari dan bulan adalah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Terjadinya gerhana bukan karena kematian atau kehidupan seseorang. Maka, bila melihatnya berzikirlah kepada Allah SWT dengan mengerjakan shalat.”

Berdasarkan cerita sejarah dan hadist sahih tersebut, maka sudah sangat jelas bahwa Rasul sendiri melarang mengkaitkan bencana, kemalangan dan kejadian alam tertentu dengan kematian seseorang ataupun adzab. Oleh karenanya, alangkah lebih bijak apabila kita berhenti mengkait-kaitkan bencana yang sekarang sedang terjadi dengan adzab ataupun pikiran-pikiran diluar nalar lainnya. Mengapa? Karena jelas-jelas nabi Muhammad SAW melarang hal itu.

Jadi sebaiknya kalimat-kalimat menghujat, menghasut dan saling meyalahkan harus segera kita akhiri. Hal ini hanya akan memperuncing keadaan dan tentu saja lebih banyak mudharatnya dari pada kita petik manfaatnya. Alangkah lebih baik jika kita bersama-sama berdoa dan saling membantu meringankan beban mereka korban bencana.

Pada saat ini suhu dunia perpolitikan sudah cukup panas, maka sebaiknya tidak perlulah kita semakin memanaskannya jika hanya dengan cara memanfaatkanataupun menunggangi duka korban bencana. Niscaya ini akan menjadi dosa baru yang patut untuk kita sesali dampaknya dikemudian hari. Sebagaimana Disebutkan dalam Al Hujarat ayat 6 sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Disinilah empaty dan jiwa kemanusiaan kita diuji. Apakah kita bisa menjadi manusia yang benar-benar manusia? Apakah kita layak disebut manusia? Wallahu a’lam bish shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here