Semarang, Harianjateng.com- Kekerasan terhadap perempuan adalah bagian dari pelanggaran hak asasi manusia yang masih menjadi masalah krusial di Indonesia. Berdasarkan Catahu Komnas Perempuan, di tahun 2017 sebanyak 348.446 perempuan menjadi korban kekerasan. Di Jawa Tengah, sejak tahun 2013 hingga tahun 2017, LRC-KJHAM mencatat terdapat 2.116 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 4.116 perempuan yang menjadi korban.
Hal itu disampaikan oleh Witi Mutari selaku kepala divisi informasi dan dokumentasi dari LRC-KJHAM didampingi oleh Ika Yuli Herniana, kepala divisi advokasi kebijakan LRC-KJHAM dalam acara media gathering bersama jurnalis, Selasa (18/12/2018) bertempat di Eatboss semarang, Jl. Menteri supeno no 15.
Menurut Witi dari berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual masih masih menjadi ancaman bagi perempuan. Dari data yang di himpun dari LRC-KJHAM sejak tahun 2013 hingga 2017 yaitu 2.222 atau lebih dari 50% diantaranya memahami kekerasan seksual.
Lanjut Witi, kemudian dari tahun 2018 sebanyak 311 perempuan mengalami kekerasan ada 63 perempuan yang mengadu dan didampingi oleh LRC-KJHAM. Sedangkan 246 perempuan sekitar 79% diantaranya mengalami kekerasan seksual. Ironisnya kekerasan seksual ini dilakukan oleh orang -orang yang dikenal bahkan dekat dengan korban, seperti ayah kandung, ayah tiri, paman , kakek, guru, pacar, tetangga dan lain sebagainya.
Ia juga menjelaskan bahwa sudah ada beberapa peraturan perundangan – undangan yang melindungi hak perempuan korban, termasuk kekerasan seksual. “Diantaranya adalah UU No. 23 tahun 2014 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, UU perlindungan anak dan UU perlindungan saksi korban serta lain sebagainya,” ujarnya.
“Tetapi dari berbagai peraturan perundangan – undangan tersebut, belum ada peraturan yang cukup melindungi dan menghormati hak perempuan korban kekerasan seksual. Perempuan korban kekerasan seksual masih mengalami hambatan dalam mengakses keadilan. Seperti ditolak laporannya atau mandek penanganannya karena terhambat dalam pengumpulan bukti-bukti di kepolisian,” terangnya.
Selain itu, kata Witi, “korban kekerasan seksual yang didamaikan oleh aparat penegak hukum, bahkan di kawinkan dengan pelaku. Mudus nikah mut’ah juga digunakan pelaku untuk melakukan kekerasan seksual terhadap korban. Kuatnya stigma di masayarakat, pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap perempuan korban kekerasan seksual semakin memperburuk pemenuhan dan perlindungan hak korban. Tidak mendapatkan perlindungan tetapi justru disalahkan bahkan diminimalkan”.
“Berdasarkan situasi tersebut seharusnya DPR RI segera membahas dan mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual yang melindungi hak korban kekerasan seksual. Tetapi pembahasan RUU penghapusan kekerasan seksual hingga saat ini masih mandeg. Maka dari itu kami beserta seluruh masyarakat yang peduli terhadap korban menyatakan mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, mendesak kepada DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual yang melindungi dan memenuhi hak korban dan mengajak seluruh masyarakat untuk peduli terhadap korban kekerasan,” tutup Witi Mutari kepala divisi informasi dan dokumentasi tersebut.
Red-HJ99/Heri
