Harianjateng.com- Pelayanan kesehatan di Indonesia masih membutuhkan perbaikan dan peningkatan sebagai upaya memenuhi hak-hak masyarakat dalam bidang kesehatan. Namun permasalahan yang kerap muncul dipicu oleh kerangka regulasi yang menghadapkan antara masyarakat pengguna layanan kesehatan dengan tenaga kesehatan secara diameteral.
Hal itu disampaikan oleh Abdul Kholik, salah seorang Tim Ahli yang terlibat dalam penyusunan RUU Perlindungan Pasien saat dihibungi oleh pewarta Harianjateng.com, Selasa (22/01/2019).
Lanjut Abdul Kholik, pola pikir hubungan konsumen yang memposisikan pengguna jasa (konsumen) dan pelaksana layanan kesehatan sebagai produsen, sesungguhnya tidak tepat. Hal ini menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak.
“Untuk mengatsi hal tersebut, saat ini tengah disusun kerangka legislasi baru di bidang kesehatan, khususnya berkaitan dengan upaya melindungi pasien dan menjamin hak-hak pasien terpenuhi dalam penyelenggaaraan layanan kesehatan, namun tidak menyulitkan bagi para tenaga kesehatan,” ungkap Abdul Kholik yang juga seorang Caleg DPD RI Dapil Jawa Tengah 1 tersebut.
Ia juga mengungkapkan, semestinya keduanya baik pasien maupun tenaga kesehatan terikat dalam suatu perikatan untuk melakukan usaha/upaya/ikhtiar (inspanning verbintenis) kesembuhan (terapeutik), bukan untuk memperoleh hasil tertentu (resultaat verbintenis). Dalam konteks ini tenaga kesehatan dan/atau fasilitas kesehatan diwajibkan untuk berusaha semaksimal mungkin berdasarkan pengetahuan dan gejalanya untuk merawat, menyembuhkan atau mengobati pasien sesuai dengan standar profesinya.
Menurut Kholik, nilai dan prinsip kemanusiaan dan pengabdian menjadi dasar dan menjiwai hubungan perikatan tersebut. Dalam rangka menjamin kesetaraan hubungan dan semangat untuk mengembalikan layanan kesehatan sebagai upaya kemanusiaan dalam rangka penyembuhan dibutuhkan kerangka pengaturan yang melindungi hak-hak pasien, disisi lain juga tetap memberikan kenyamanan dan ketenagan bagi tenaga kesehatan dalam menjalan profesinya tanpa kekhawatiran yang berlebihan terhadap risiko tindakan medis yang dilakukan.
“Model yang dikedepankan adalah asuransi sosial kesehatan yang diatanggung bersama untuk memberikan ganti rugi dan kompensasi dalam hal terjadi hasil negatif yang tidak diharapkan dari suatu upaya penyembuhan,” ujar Kholik.
Pengaturan secara seimbang antara aspek perelindungan pasien dan tenaga kesehatan membutuhkan kerangka legislasi baru yang saat ini sedang diupayakan melalui pembentukan RUU Perlindungan Pasien. Komite 3 DPD RI telah menyusun Naskah Akademik dan RUU yang nantinya akan diajukan sebagai RUU inisitif.
Semangat yang melandasi adalah adanya urgensi membentuk undang-undang yang secara khusus mengatur Perlindungan pasien yang didalamnya mengatur hubungan seimbang dengan tenaga kesehatan. Apabila ini berhasil akan menjadi terobosan dalam pelayanan kesehatan. ”Intinya pasien dilindungi, tenaga kesehatan juga harus dilindungi,” tutur Caleg DPD RI nomer urut 21 tersebut.
Red-HJ99/Heri