Memajukan Tradisi Lokal dari Pesantren

8
Ilustrasi: Presiden Jokowi (tengah) saat berada di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fadlu Wal Fadilah Dusun Jagalan Desa Kutoharjo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal beberapa waktu lalu.

Oleh: Laeli Zzakiyah
Penulis merupakan mahasiswi STAINU Temanggung, Jawa Tengah

Tradisi lokal adalah salah satu produk budaya kearifan lokal (local wisedom) yang sudah menjadi ciri khas kuat dan melekat dari suatu daerah. Salah satu cara memajukan tradisi lokal adalah dengan melestarikan dan menjaga. Banyaknya masyarakat yang berpendapat bahwa tradisi lokal adalah salah satu bentuk kemusyrikan atau penyekutuan Tuhan atau sering menyebut tradisi lokal dengan kata bid’ah, akan tetapi menurut saya selagi tradisi tersebut tidak menyimpang dengan syariat islam, maka itu layak disebut sebagai bagian dari khazanah kearifan lokal yang patut dilestarikan.

Dalam praktiknya mungkin tradisi memang bisa saja menyimpang, namun dengan mengacu kearifan lokal yang sesungguhnya kita bisa mengontrol agar tradisi tersebut tetap pada koridornya. Tradisi lokal negeri ini layak untuk kita lestarikan karena memang ini adalah suatu bentuk kekayaan bangsa yang tak pernah dimiliki oleh bangsa lain. Hal ini juga mencerminkan salah satu spirit nasionalisme dan hubbul wathan minal iman, yang termanifestasi dalam budaya lokal tersebut.

Salah satu lembaga yang terus memajukan tradisi lokal adalah pesantren. Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan nonformal tertua di Indonesia. Keberadaan pesantren tak lain halnya juga sebagai bagian dari peradaban dan dinamika sejarah yang sangat penting untuk dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Karena pendidikan umum saja tidak cukup untuk membangun kepribadian dan peradaban kemanusiaan dan arus globalisasipun tak pernah mengenal ruang dan waktu.

Memajukan Tradisi
Memajukan tradisi sangatlah penting karena semakin terkikisnya tradisi lokal yang berada di daerah kita masing-masing. Melestarikan tradisi secara kontekstual sebagaimana peribahasa “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Tradisi lokal tersebut mulai dari ziarah kubur, berjanjen/dzibaan, yasinan, tahlilan, hadroh, rebana, suluk, ayun-ayun, slametan, mujadahan, dan masih banyak lagi. Banyak sekali cara memajukan tradisi lokal di pesantren, karena memang pesantren adalah salah satu lembaga yang masih mempertahankan kesederhanaannya hingga saat ini.

Tanpa disadari tradisi tersebut tetap berkembang dan lestari dengan sendirinya Karena memang tradisi-tradisi yang ada di pesantren masih terjaga hingga kini keberadaannya. Tradisi tersebut hingga saat ini masih tetap eksis dan tetap di lestarikan bak sudah menjadi kewajiban bagi seorang santri untuk bisa melakukan tradisi tersebut, bahkan terkadang santri dipaksa untuk bisa membudayakan tradisi tersebut, tak lain halnya ya untuk mempertahankan aset budaya bangsa ini.

Kebiasaan yang timbul di pesantren ini tentunya menjadi penguat untuk menjadikan tradisi lokal semakin maju dan bahkan tidak akan pernah terancam kepunahannya. Akan tetapi bagaimana caranya agar remaja zaman sekarang menerima tradisi-tradisi tersebut, padahal perkembangan zaman sudah merubah pola pikir mereka?

Nah, sebenarnya kalau kita kaji lebih dalam mengenai sifat-sifat santri, mereka lebih cenderung tidak menerima perkembangan zaman bahkan bisa dibilang santri itu kudet. Dari kekurangan santri tersebut sebenarnya banyak manfaatnya. Karena globalisasi yang bahkan sangat mengenaskan hingga merubah pola pikir masyarakat itu selalu kalah dengan pola pikir santri yang tentu lebih mementingkan agama mereka.

Hal ini terlihat saat maulid nabi, dalam rangkaian acara maulid nabi tersebut santri diiringi berbagai tradisi, mulai dari tradisi dzibaan, ayun-ayun untuk kaum laki-laki, ambengan (makan bareng-bareng). Hal ini dimaksudkan hanya untuk memuliakan nabi Agung Muhammad SAW. Masyarakat seharusnya bisa melestarikan dan merevitalisasi tradisi yang menjadi ciri khas daerah masing-masing.

Menurut Al-Zastrouw Ngatawi (2017) ada dua pola revitalisasi tradisi. Pertama, menjaga nilai-nilai dan spirit yang ada dalam tradisi kemudian mengaktualisasikan dalam format dan bentuk baru. Hal ini terlihat pada tradisi mudik yang terjadi secara massif pada beberapa decade terakhir sebagai bentuk rekonstruksi dari tradisi silaturrahmi lebaran.

Kedua, mengaktualisasikan spirit nilai-nilai tradisi dengan tetap menjaga format dan bentuk asli dari tradisi itu sendiri. Ini terlihat pada tradisi ziarah kubu, silaturrahmi mengunjungi orang tua, dan sejenisnya”.

Ketiga, lanjutnya menggunakan tafsir agama untuk melegitimasi tradisi secara teologis dan religious. Hal ini pernah dilakukan oleh walisongo yang kemudian diikuti oleh para ulama. “karena bagaimanapun tradisi-tradisi tersebut adalah hasil ijtihad para ulama nusantara dalam upaya mengajarkan islam pada bangsa nusantara”

Seperti yang diuraikan diatas bahwa pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang masih survive menjaga tradisi dan budaya lokal. Memajukan tradisi lokal bukan hanya dapat dilakukan di pesantren namun di daerah masing-masingpun juga bisa, langkah awal untuk memajukan tradisi lokal adalah membiasakan untuk melakukan tradisi tersebut serta merubah pola pikir masyarakat yang sudah terpengaruh oleh budaya barat. Merubah pola pikir masyarakat yang terkena virus budaya barat memang susah.

Namun di dalam pesantren adalah suatu bentuk kemungkinan kecil jika budaya barat masuk di zona nyaman ini, bahkan tradisi lokal tetap terjaga dan terus dilestarikan sebab sudah menjadi keunikan tersendiri dari suatu pesantren agar budaya tersebut tidak hilang secara perlahan. Kita sebagai generasi penerus bangsa, bukan hanya pintar dalam akademis saja, namun menjaga kebudayaan bangsa ini juga sangat diperlukan karena tradisi adalah khazanah kearifan lokal yang wajib kita lestarikan.

Kalau bukan kita yang memajukan tradisi lokal, lalu bagaimana generasi penerus setelah kita?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here