Bukan Sekedar Kata

0

Sebenarnya Tofikoh tidak ingin seantusias itu untuk mengenal lebih jauh mengenai namanya. Baginya, Tofikoh Hidayati tetaplah sebuah nama yang memang tercetus untuknya dan tersirat doa yang diharapkan oleh keluarga. Layaknya harapan dan doa, bukankah tidak perlu dibicarakan sedalam itu? Cukup keluarganya sajalah yang terus memuja karena mereka yang memberikannya. Namun sialnya, sebagai orang yang lahir di bulan September yang konon berzodiak Virgo, membuat ia meyakini bahwa dirinya sosok yang serba ingin tahu dan bisa. Semenjak hari itu pandangannya berbeda, harapan dan doa tidak cukup dipanjatkan oleh orang yang menginginkannya saja, tetapi butuh banyak tangan untuk ikut serta memanjatkannya.

Rabu sore 13 Juni 2012, hari kesekian yang biasa saja bagi Tofikoh Hidayati. Ia sudah tahu kegiatan selepas maghrib nanti, memilih rute untuk menghampiri teman-temannya, mengaji, dan menjadi juru kunci sebuah misi hariannya dengan mereka. Karena itu, ketika adzan maghrib berkumandang, ia bergegas mengambil wudhu, melaksanakan ibadah shalat, dan berlari ke luar rumah.

Penulis Cerpen “Bukan Sekedar Kata”, Tofikoh Hidayati.

“Salamnya yang betul, biar berkah keluar rumahnya dan di jaga malaikat di jalan,” begitu simbah pernah menegurnya, tetapi Tofikoh hanya mengiyakan saja tanpa mengubah cara berpamitannya. “Iya, Mbah, nanti dibetulkan.” Itu dulu, sebelum ia tahu, ucapan simbahnya amat bermakna.

Usai mengaji, dengan membawa sekantong nasi kuning- syukuran guru ngajinya yang berulang tahun- Tofikoh berjongkok di balik tumbuhan kumis kucing, padahal ia berharap tengah dikelilingi bunga daisy yang banyak. Sayang, yang ada di depan rumah tua ini hanya tumbuhan kumis kucing yang kadang membuat ia bingung, “Mengapa dinamakan kumis kucing?”

Sepanjang waktu menjalankan misinya sebagai juru kunci, Tofikoh hanya bungkam, namun pikirannya sibuk berkecamuk di dalam sana. “Nama yang diberikan orang tua kita tentunya sarat akan doa dan harapan dari mereka,” Tofikoh sudah tahu hal itu, karena ketika ia kelas satu SD gurunya pernah menyampaikan hal demikian di sela tugas menuliskan nama. Entah mengapa ucapan kali ini mempengaruhi dirinya, mungkin karena perkataan Indah yang membawa-bawa majalah zodiak selepas pulang SMP siang tadi. Indah memang orang tertua digerombolan pertemanannya, jadi tidak heran bila ia sudah tahu mengenai dunia-dunia di luar bermain. Kata Indah, “Kamu lahir bulan September kan? Wah zodiak kamu Virgo nih, kalau di majalah sih tertulis orang dengan zodiak ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, penuh ambisi namun pemalas, tapi Virgo sebenarnya orang yang cerdas,” begitu ucapnya. Baru hendak mengolah kata untuk membalas infromasi yang telah Indah katakan, mulut mungil Indah sudah melanjutkan ucapannya lagi, “Wah, ngga heran sih kalau kamu pinter, udah ditulis di sini.” Konyol, satu kata yang terlintas dibenak Tofikoh mendengarkan sederet perkataan dari Indah. Itu siang tadi, sekarang ia jadi percaya akan hal itu.

Jika ditarik lagi, sebenarnya Tofikoh tidak ingin seantusias itu untuk mengenal lebih jauh mengenai namanya. Baginya, Tofikoh Hidayati tetaplah sebuah nama yang memang tercetus untuknya dan tersirat doa yang diharapkan oleh keluarga. Layaknya harapan dan doa, bukankah tidak perlu dibicarakan sedalam itu? Cukup keluarganya sajalah yang terus memuja karena mereka yang memberikannya. Namun sialnya, sebagai orang yang lahir di bulan September yang konon berzodiak Virgo, membuat ia meyakini bahwa dirinya sosok yang serba ingin tahu dan bisa.

Srttttt…- Bunyi pintu yang berderit itu segera menyadarkan lamunan Tofikoh. Persetan dengan rasa ingin tahunya yang bisa dipikirkan sepulang nanti, sekarang ada yang lebih genting, ia dan teman-temannya harus segera menyelamatkan diri, jika tidak tentunya kawanan yang suka mengambil buah kemuning di depan rumah tua ini akan terbongkar, “eh, eh, ada yang mau keluar, cepet turun cepet turun,” ucapnya lirih sedikit panik sambil membenarkan letak kerudungnya dan bersiap berlari kencang. Tofikoh mengamati sekali lagi temannya yang berada di atas sana, Indah dan Ida yang tengah mengambil ancang-ancang untuk lompat ke bawah- berhasil, mereka segera kabur dari rumah tua itu.

Setiap langkah, bulir-bulir keringat sebesar biji gabah menetes dari pelipis Tofikoh. Ini pertama kalinya mereka hampir ketahuan mengambil buah kemuning. Biasanya, ia selalu sukses menjadi petunjuk bagi misi harian ini. Setiap hari, sebagai anak bawang ia ditempatkan di balik tumbuhan kumis kucing, tujuannya untuk memberi tahu Indah dan Ida jika ada pergerakan yang mencurigakan di dalam rumah tua itu. Ia dan teman-temannya tidak pernah merasa sebagai pencuri, mereka menganggap kegiatan mengambil buah kemuning ini sebagai bayaran atas kerja keras mereka yang kerap membantu si pemilik rumah tua itu membersihkan rumah atau memanen tebu di kebun. Si pemilik rumah terlalu pelit untuk memberikan sedikit upah, jadi misi ini upaya menyelamatkannya dari bersikap dholim kepada anak-anak — pikir mereka.

“Segelas es teh, tebu, dan kemuning tentunya membuat mata kita berbinar. Bolehlah kami dibagi sedikit sebagai upah sudah membantu beres-beres, Nek?” ucap Ida untuk kesekian kalinya.

“Kenapa tak kalian makan langsung saja tebu-tebu yang sudah dipanen saat di kebun tadi?” Tofikoh tahu betul, itu bukan sebuah penawaran tapi pertanyaan retoris dan tersirat menolak mentah-mentah permintaan Ida, membuat ketiganya menghela napas panjang. “Sudahlah, berbicara dengan wanita kolot yang tidak tahu terima kasih itu membuat kita bisa ikut naik darah, kita ambil saja malam nanti seperti biasanya,” tegas Indah sabtu lalu.

Mendadak, Tofikoh ingat, tepat keesokan harinya di minggu lalu, Simbahnya tiba-tiba berkata jangan jadi pencuri dan ia bergegas ke rumah Mbok Ratmi-nama pemilik rumah tua- dengan membawa bingkisan dan sejumlah uang yang diselipkan dibalik tapihnya. Jangan- jangan Simbahnya sudah mengetahui kegiatan yang selama ini ia lakukan, gawat- pikir Tofikoh.

Tofikoh mempercepat laju larinya, ia tidak memperdulikan lagi bagi hasil tangkapan hari ini. Wajahnya sudah panik betul.

“Simbah sudah menunggu, kenapa pulangnya lama sekali? Dan kenapa berlari-lari ke sini?” ucapan simbahnya sudah membuat kulit sawo matang Tofikoh menjadi terlihat pucat pasi ketika baru mendartkan kedua kaki mungilnya itu.

“Mbah, apa mbah sudah tahu?” Tofikoh mendudukan dirinya di ranggon depan rumah, wajahnya jelas menampakkan rasa cemas dan berharap mendengar jawaban kata “tidak.”

“Sudah tahu apa? Kamu dan teman-temanmu suka mencuri kemuning depan rumah Mbok Ratmi?”

Kalimat-kalimat itu sudah cukup membuat kedua lututnya lemas, benar simbahnya sudah tahu dan minggu lalu merupakan kunjungan sebagai bentuk permintaan maaf dan bayaran atas kelakuan cucunya.

“Kamu tahu siapa namamu?” pertanyaan itu membuat Tofikoh bingung, jelas sekali ia sudah tahu dan ditimpali dengan kekehan simbah itu.

“Asal kamu tahu, namamu bukan sekadar kata,” raut wajah Tofikoh sudah berubah, ia malas karena sudah tau fakta mengenai nama bukan sekadar kata tapi di sisi lain ia juga penasaran dengan maknanya, mungkin ini saat yang tepat untuk memenuhi dahaga keingintahuannya, tapi mengapa simbah tiba-tiba berganti topik? Ah sudahlah, Tofikoh tidak ingin memikirkan hal itu.

“Namamu itu sama dengan nama adiknya Bu Halimah, pemilik TK diseberang sungai sana. Tofikoh Hidayati, adiknya Bu Halimah itu sosok yang amat pandai, sregep, baik, dan luhur budinya. Budhe, simbah, dan mamamu memberikan nama itu karena kami ingin kamu menjadi sepertinya. Tumbuh menjadi sosok pribadi yang bisa memberikan cahaya petunjuk dan kebermanfaatan pada siapa saja.”

Raut wajah Tofikoh semakin mengapas, ia tidak berani menatap simbahnya.

“Tofikoh Hidayati, diambil dari kata taufik lan hidayah yang bermakna petunjuk kehidupan. Harusnya kamu bangga namamu selalu disebut di setiap mukadimah, artinya banyak juga yang ikut memanjatkan doa untuk diberikan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kamu, nduk, udah masuk ke dalam seluruh tubuhmu bagian harap dan doa-doa itu.”

“Jangan lakukan lagi ya, minta baik-baik, Mbok Ratmi itu nda jahat. Jadilah seperti namamu, usahakan supaya tidak hanya menjadi sekedar kata. Namamu tidak bisa terwujud hanya dengan harapan dari kami para orang tua saja, kamu juga harus ikut serta memanjatkan dan mengusakannya, agar Allah mengabulkan harap dan doa yang terselip dalam namamu. Tapi, bukan berarti menjadi petunjuk untuk hal-hal yang salah seperti selama ini.”

Dua pertanyaan dijawab simbahnya dalam satu waktu, sudah cukup jawaban-jawaban itu untuk membuat Tofikoh sadar agar tidak meremehkan namanya lagi. Kini, Tofikoh Hidayati sedikit tahu harus bagaimana ia bersikap dan menghadapi dunia ke depannya, karena harapan dan doa tidak cukup dipanjatkan oleh orang yang menginginkannya saja, tetapi butuh banyak tangan untuk ikut serta memanjatkannya dan pemilik nama yang harus mencerminkannya. ***

* Tofikoh Hidayati lahir di Tegal, 12 September, sedang aktif di organisai UKMF Limlarts FBSB UNY, KMSI UNY, dan UKM Penelitian UNY. Dan sedang studi di jurusan Sastra Indonesia UNY.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here