Oleh : Dr. Didi Junaedi, M. A.
(Dosen Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
“Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari)
Dari keterangan hadis di atas, jelaslah bahwa kepemimpinan adalah tanggungjawab universal bagi setiap individu dengan beragam peran yang dijalaninya dalam kehidupan ini. Seorang individu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, seorang suami bertanggung jawab atas keluarganya, seorang Kepala Daerah bertanggung jawab atas masyarakat yang dipimpinnya, seorang Kepala Negara bertanggung jawab atas negara dan bangsa yang dipimpinnya, dan kesemua itu akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah kelak.
Persoalan kepemimpinan adalah persoalan bagaimana menjalankan amanat yang telah diembankan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Ketika amanat dipegang teguh oleh seorang pemimpin, dan ditunaikan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan aturan-aturan yang telah digariskan dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, maka di sinilah letak keberhasilan dan kesuksesan seorang pemimpin.
Sebalik keadaan, ketika amanat itu diselewengekan, tidak diindahkan, bahkan diinjak-injak dan dilempar ke tong sampah oleh seorang permimpin, demi kepentingan pribadi atau golongannya, maka tunggu saja saat kehancuran sebuah masyarakat atau bangsa.
Pertanyaannya kemudian, apa saja prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh dan dimiliki oleh seorang pemimpin menurut kacamata Islam, sehingga ia dapat menjalankan roda kepemimpinannya dengan baik sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ajaran agama?
Dalam hal ini, mari kita tengok kembali sejarah kepemimpinan Rasulullah Saw, baik sebagai kepala negara maupun sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah mencatat, dalam diri Rasulullah terdapat empat hal yang menjadi titik tolak keberhasilannya, baik dalam dakwah maupun dalam memimpin negara. Keempat hal tersebut menurut catatan sejarah adalah:
Pertama, Shidiq atau sikap jujur. Atau bisa dimaknai pula sebagai kebenaran. Seorang pemimpin harus mengedepankan sikap kejujuran dan kebenaran dalam segala hal. Karena kejujuran dan kebenaran ini yang akan membawa seseorang pada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkan seseorang menuju surga. Sementara kebohongan, kedustaan akan membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan akan menjerumuskan seseorang menuju neraka.
Dengan demikian, maka kejujuran adalah prinsip yang harus melekat pada diri seorang pemimpin. Ketika kejujuran dan kebenaran sudah digadaikan, maka kebaikan, ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat hanyalah isapan jempol belaka.
Prinsip yang kedua, yang harus dipegang teguh oleh seorang pemimpin adalah sikap amanah, bisa dipercaya. Sikap amanah ini merupakan salah satu modal utama seorang pemimpin untuk menjalankan roda pemerintahan.
Apabila sikap amanah ini dijaga dengan baik oleh seorang pemimpin, maka akan muncul sebuah komunitas masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang tinggi kepada pemimpinnya, yang sering disebut dengan istilah high trust society (masyarakat dengan tingkat kepercayaan tinggi).
Sebaliknya, apabila seorang pemimpin tidak memedulikan, atau bahkan menyelewengkan amanat yang dipercayakan kepadanya, maka akan muncul masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang rendah (low trust society), atau bahkan masyarakat yang tidak percaya sama sekali dengan pemimpinnya (distrust society). Dalam bahasa agama, seseorang yang dipercaya kemudian berkhianat, maka termasuk kedalam kategori munafik, seperti disebutkan dalam sebuah hadis: “Tanda-tanda orang munafik itu ada 3: jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari, dan jika dipercaya khianat.”
Kemudian prinsip yang ketiga bagi seorang pemimpin adalah sikap tabligh, menyampaikan apa saja yang menjadi kepentingan bersama. Sikap transparansi dalam segala hal harus selalu dikedepankan. Pelbagai persoalan yang menyangkut hajat hidup masyarakat harus dikemukakan secara transparan, akurat dan terperinci.
Pemimpin yang adil dan bijak, akan selalu berusaha menentramkan masyarakatnya, menghindarkan kecurigaan-kecurigaan yang bisa merusak stabilitas roda pemerintahan yang sedang dijalaninya. Oleh karena itu, hanya dengan sikap transparansi (menyampaikan segala sesuatu dengan terbuka, tanpa ditambah atau dikurangi) inilah, segala kecurigaan dan syak wa sangka dapat dihindari.
Selanjutnya, prinsip yang keempat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah sifat fathonah, atau kecerdasan. Kecerdasan dalam hal ini meliputi tiga hal, yakni kompetensi, integritas dan visi. Tanpa kompetensi, maka seorang pemimpin tidak mungkin membuat prestasi dalam tugas yang diembankan kepadanya. Tetapi kompetensi tanpa dukungan moral atau integritas pribadi, maka seorang pemimpin akan mudah terjatuh pada tindakan yang merendahkan martabatnya dirinya sendiri. Dan ketiga, seorang pemimpin tanpa visi jauh ke depan akan jatuh pada pragmatisme sesaat yang justru akan merusak citra kepemimpinannya.
Di sinilah, kecerdasaan menjadi sangat penting dimiliki oleh seorang pemimpin. Sehingga dalam setiap kebijakan yang ditetapkannya dapat dipertanggungjawabkan secara moral, baik kepada masyarakat maupun kepada Allah Swt. Karena, tidak ada sedikit pun ruang dalam kehidupan ini yang terlepas dari pengawasan Allah, setiap yang kita perbuat, semua akan dipertanggung jawabkan di hadapan-Nya. Q. S. Al-Isra: 36 menegaskan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Itulah beberapa prinsip ajaran agama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Sehingga dengan prinsip-prinsip tersebut, insya Allah seorang pemimpin dapat menunaikan tugas kepemimpinannya dengan baik, senantiasa berada di rel yang sesungguhnya dan selalu mengindahkan aturan-aturan Allah Swt.
* Ruang Inspirasi, Senin, 8 Januari 2024.