Oleh : Dr. Didi Junaedi, M. A.
(Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6).
Hadirnya media sosial (medsos), sebagai imbas dari perkembangan teknologi informasi, khususnya internet, semakin memudahkan kita untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi dengan sangat cepat. Berita yang ada dari seluruh penjuru dunia, melalui dunia maya (dumay) jauh lebih cepat tersebar dan tersiar daripada yang kita jumpai di dunia nyata.
Sejumlah jejaring media sosial seperti facebook (Fb), twitter, WhatsApp (WA), atau Instagram (IG), menjadi sarana yang paling mudah dan murah bagi para netizen (masyarakat di dunia maya) untuk mendapatkan atau menyampaikan informasi secara luas.
Demikian mudahnya mendapatkan informasi di jagat maya melalui jejaring media sosial tersebut, hingga tidak jarang, informasi yang didapatkan itu, yang sudah terlanjur menyebar luas, tidak jelas sumber dan kebenarannya. Dalam istilah dunia maya, berita-berita yang tidak jelas sumber serta nilai kebenarannya sering disebut dengan ‘hoax’.
Ironisnya, berita-berita dengan status ‘hoax’ tersebut menyebar begitu cepat. Dan anehnya, berita ‘hoax’ tersebut mudah dipercaya oleh para netizen, tanpa melalui proses cek dan ricek (tabayyun) terlebih dahulu.
Di antara ciri berita yang termasuk dalam kategori ‘hoax’ itu adalah bahwa berita tersebut berisi : fitnah, hasutan, ujaran kebencian (hate speech), caci maki, dan penuh dengan nada provokatif. Biasanya, berita tersebut diembuskan oleh salah satu pihak di antara dua pihak yang tengah berseteru untuk semakin memanaskan suasana. Bisa juga, berita tersebut, yang tidak jelas sumbernya, berasal dari pihak ketiga yang menginginkan perpecahan antarumat beragama, antarorganisiasi, antaretnik, atau bahkan dalam skala yang lebih besar antarbangsa.
Dalam ranah individu, media sosial, selain banyak manfaat yang bisa kita peroleh, juga cukup efektif untuk digunakan sebagai sarana melakukan pembunuhan karakter (character assasination) terhadap seseorang.
Jika kita tengah berseteru dengan seseorang, kemudian kita tulis status di facebook atau cuitan di twitter, misalnya, tentang keburukan sifat serta sikap orang yang kita benci, dan meminta sahabat-sahabat kita yang ada di facebook atau follower kita di twitter untuk berhati-hati dengan orang yang kita maksud, maka dengan cepat sekali pembunuhan karakter terhadap orang tersebut menyebar di jagat maya. Walhasil, bisa jadi orang-orang yang sama sekali tidak tahu menahu, tidak mengenal secara pribadi dengan orang yang kita benci, akan ikut membenci orang tersebut, berdasarkan informasi yang kita sampaikan. Sungguh, sebuah cara membunuh karakter seseorang yang sangat mudah, murah dan ‘halus’.
Berangkat dari kenyataan di atas, maka hemat penulis, ada satu aturan mendasar yang harus dijaga dan dipatuhi oleh para netizen, agar aktivitas di dunia maya, alih-alih menghadirkan suasana tidak nyaman, penuh amarah dan kebencian, justru akan membuat kita merasa aman, nyaman dan bahagia. Aturan yang penulis maksud adalah etika, atau dalam bahasa agama sering disebut dengan akhlak.
Ya, etika adalah seperangkat nilai dan aturan tidak tertulis yang harus dijaga dan dipatuhi oleh para netizen. Sehingga, aktivitas di dunia maya bisa berjalan normal, baik dan menyenangkan.
Jika setiap netizen, warga dunia maya menjaga tata krama dan sopan santun dalam bermedia sosial, penulis yakin tidak akan ada berita-berita ‘hoax’ yang menyebar demikian cepat layaknya wabah penyakit.
Etika dalam bermedia sosial harus kita kedepankan, jika kita ingin tetap eksis di jagat maya. Kalau tidak, maka warga dunia maya akan menjadi korban keburukan sikap kita. Atau bahkan kita sendiri yang menjadi korban. Karena ketika kita menyebarkan berita bohong, misalnya, kemudian ada pihak-pihak yang merasa tersinggung atau tersakiti dengan tulisan atau informasi yang kita bagikan, kemudian melaporkan kita kepada pihak yang berwajib, maka kita bisa terkena jeratan hukum.
So, untuk menghindari hal-hal buruk yang tidak kita inginkan, marilah kita jaga etika bermedia sosial, agar kehadiran kita, alih-alih membuat para netizen gusar dan jengah, justru mampu menghadirkan ketenangan dan kedamaian.
- Ruang Inspirasi, Kamis, 18 Januari 2024.