Oleh: Yuniar Riza Hakiki
Akitivis Forum Kajian Dan Penulisan Hukum Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Fenomena penguasaan pemerintahan oleh keluarga dan orang terdekat, atau yang biasa dikenal dengan dinasti politikhampir terjadi diseluruh negara. Misalnya, dinasti John F Kennedy dan George W Bush di Amerika Serikat, dinasti Gandhi di India, hingga dinasti Aquino di Filiphina. Bahkan dinasti politik marak terjadidi Indonesia, seperti Dinasti Atut di Banten, Dinasti Hasan Aminudin di Probolinggo, Dinasti Fuad Amin di Bangkalan.Akhir-akhir inikembali muncul dan ramai diperbincangkan olehmedia mengenai pembabatan dinasti politik di beberapa daerah, seperti di Nganjuk, Jombang, dan Cimahi oleh KPK.
Sisi Positif dan Negatif
Dinasti politik sejatinya tidak sepenuhnya negatif dan berdampak buruk. Ni’matul Huda (2014) berpandangan bahwa terdapat sisi positif dari dinasti yang layak untuk diapresiasi. Dinasti politik bisa dianggap sebagai proses mentorship ketika tokoh politik akan menularkan pengalaman dan “proses pembelajaran” politik secara langsung kepada anggota keluarganya. Pendidikan politik tidak sepenuhnya dipahami kaku hanya tugas partai politik, melainkan tokoh politik juga dapat berbagi pengalaman dan pembelajaran politik secara langsung kepada orang-orang disekitarnya.
Sisi negatif yang kemudian munculjika fenomena dinasti politik dibiarkan tanpa kontrolakan berdampak buruk pada pemerintahan. Maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme sering kali muncul pada pemerintahan yang menerapkan dinasti. Pemerintahan dinasti di Indonesia berdampak pada sebagian besar posisi jabatan pemerintahdan proyek-proyek ekonomi dikuasai oleh keluarganya, sehingga masyarakat tidak mendapat akses kontestasi politik dan ekonomi.
Meritokrasi dan Reformasi Struktural
Menurut penulis untuk menyikapi fenomena dinasti politik agar mengarah pada profesionalitas dan kecerdasan berdemokrasi. Pertama, memperbaiki sistem rekrutmen calon pejabat publik oleh partai politik. Pemerintah harus intervensi melalui regulasi mengenai sistem rekrutmen ini. Parpol yang tidak melakukan rekrutmen berdasar sistem merit tidak dapat diterima sebagai peserta pencalonan pejabat publik. Parpol tidak boleh hanya mengandalkan kedekatan, popularitas, dan kekuatan finansial calon tanpa memperhatikan kompetensi dan integritasnya.
Demokrasi akan produktif apabila budaya demokrasi dibangun dengan sistem meritokrasi sebagai pilar utamanya. Lawson dan Garrod (2002) berpandangan bahwa penghargaan dan posisi dialokasikan secara adil berdasar pada kompetensi dan kemampuan, bukan faktor askriptif seperti jenis kelamin, kelompok etnis, kedekatan/keluarga, serta kemampuan finansial.
Kedua, membenahi sistem penempatan pejabat publik berlandaskan good governance. Penunjukan pejabat publik harus melalui sistem merit, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Meskipun yang akan ditempatkan adalah anggota keluarga, namun melalui sistem merit tetap akan terseleksi dan transparan. Sehingga siapapun dapat terlibat dalam pengawasan pemerintahan dan kesempatan untuk mengakses hakberpartisipasi dalam pemerintahan tetap terjamin luas.
Ketiga, kecerdasan politik dalam berdemokrasi tidak hanya menjadi tanggungjawab penyelenggara negara. Masyarakat harus mendapatkan pendidikan politik yang benar-benar murni agar dapat menentukandan mengawasi pelaksanaan demokrasi. Kekuatan civil society harus dimanfaatkan dalam proses politik dan pengawasan pemerintahan. Ketika kekuasaan sudah dikuasai oleh dinasti maka kontrol dari civil society yang cerdas dalam berdemokrasimenjadi sangat penting. (*)